Tanya. Mengapa kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia belum berhasil memengaruhi industri daging sapi nasional?
Jawab. Sebab yang ada sekarang bukanlah industri daging sapi yang sesungguhnya.
Seperti halnya pemerintah negara lain di dunia, Pemerintah Indonesia memiliki keprihatinan dalam persoalan ketahanan pangan. Tingkat impor daging sapi dan sapi hidup terus meningkat dan menjadi sangat tinggi pada tahun 2009/2010 yang mengakibatkan penurunan harga sapi potong lokal secara bertahap. Memang beralasan bila para pengusaha peternakan sapi Indonesia mengeluh mengenai persoalan ini sehingga pemerintah menanggapinya dengan menerapkan kuota impor, yang secara dratis mengurangi tingkat impor. Harga daging sapi pun pulih dan para pengusaha peternakan sapi sangat berterima kasih kepada para pembuat kebijakan. Sejauh ini, semuanya berjalan baik.
Di hampir semua negara yang memiliki industri daging sapi, harga dalam negeri yang lebih tinggi, didukung oleh kebijakan pemerintah yang membatasi impor sepatutnya menjadi lampu hijau bagi para produsen ternak sapi untuk membangun kembali populasi sapinya demi memetik manfaat dengan meningkatkan keuntungan.
Dalam kenyataannya, para produsen sapi malah melakukan hal sebaliknya, sebab industri daging sapi Indonesia sesungguhnya bukanlah industri. Tujuan utama sebagian besar peternak di Indonesia memelihara sapi potong pertama-tama adalah sebagai tabungan, yang kedua sebagai asuransi atau jaminan sosial, ketiga, sebagai hewan pekerja dan sarana transportasi, dan akhirnya yang kurang penting adalah sebagai bagian dari sistem produksi daging sapi.
Sensus yang dilakukan pada tahun 2013 mengindikasikan bahwa populasi ternak sapi dan kerbau nasional berjumlah 14 juta ekor. Jika dikurangi dengan setengah juta ekor sapi perah, dikurangi lagi dengan kerbau dan sapi Bali, maka jumlah aktual sapi pedaging mungkin antara 12 sampai 13 juta ekor. Sensus yang sama juga mengindikasikan bahwa hanya sekitar 1 juta ekor dari sapi-sapi ini dikuasai oleh para investor sapi dalam perusahaan skala besar sementara 11-12 juta ekor sisanya berada dalam tangan peternak usaha skala kecil dengan rata-rata jumlah sapi sekitar 2 ekor per peternak. Dengan demikian, usaha peternakan skala kecil menjadi penyedia utama produksi daging sapi dalam negeri di Indonesia. Namun, karena para pternak ini memiliki cara pandang yang unik dan berbeda terhadap usaha peternakan sapi, maka kebijakan-kebijakan pemerintah yang semestinya menghasilkan peningkatan produksi malah tidak berfungsi.
Prioritas pertama. Tabungan di halaman belakang rumah.
Peternak Indonesia umumnya terisolasi dari sistem perbankan yang rumit, berjarak jauh dari mereka, dan tidak nyaman. Keruntuhan perekonomian Indonesia di tahun 1997 menambah kecemasan mereka terhadap sistem perbankan. Rasanya menyenangkan bahwa tabungan hasil jerih payah Anda berada di dekat Anda, hanya beberapa meter saja di belakang rumah. Tabungan yang dapat dilihat, dilindungi secara fisik dan malah dapat memberikan bunga dalam bentuk pupuk tanaman dan sesekali menghasilkan pedet. Terlepas dari pesatnya perkembangan modernisasi sistem perbankan di Indonesia, banyak peternak yang masih memilih untuk mengelola sendiri ‘’tabungan’’ mereka secara pribadi.
Prioritas ke-2. Polis asuransi kesehatan dan keadaan darurat lainnya.
Seekor sapi di desa adalah uang tunai yang dapat diperoleh dengan cepat. Jika peternak memiliki kebutuhan mendesak, maka sapinya dapat segera dijual di jejaring pasar hewan setempat dimana mereka dapat memperoleh uang tunai bahkan lebih cepat daripada ATM. Dalam ketiadaan sistem jaminan kesehatan bersubsidi dari pemerintah, biaya perawatan untuk kasus kesehatan darurat harus dibayar secara tunai. Bagi para peternak di desa, sapi mereka memberi jaminan bahwa keluarganya akan memiliki akses perawatan medis jika sewaktu-waktu kemalangan menimpa dan mereka membutuhkan biaya untuk itu.
Prioritas ke-3. Tenaga kerja untuk membajak dan mengangkut.
Anda hanya perlu berkendara beberapa kilometer ke kawasan pedesaan di Indonesia, maka dengan mudah Anda dapat melihat peternak yang mengendarai pedati menyusuri jalan. Sapi dan kerbau masih menjadi sumber tenaga kerja yang penting bagi sebagian besar petani untuk menyiapkan pertanian, sementara membawa beban angkutan yang berat dalam jarak pendek juga dapat dilakukan dengan mudah dan murah dengan menggunakan pedati milik keluarga.
Prioritas ke-4. Sistem produksi daging sapi.
Sebagian besar petani menjalankan kombinasi kegiatan pertanian yang sangat kompleks. Sekilas dalam pandangan pertama, usaha yang terlihat tercampur baur secara acak ini tampaknya tidak saling berhubungan. Namun, apabila dilihat dalam siklus selama satu tahun, mendadak menjadi masuk akal jika dihubungkan dengan iklim regional, kondisi tanah, siklus panen, peluang-peluang di pasar lokal, pola permintaan tenaga kerja, manfaat dari infrastruktur di sekitar, dan banyak lagi faktor lain yang spesifik bagi setiap pertanian dan petani. Dalam situasi ini, daging sapi biasanya hanya berperan sangat kecil sebab hampir setiap bentuk kegiatan pertanian lainnya akan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan memproduksi ‘’daging sapi’’. Oleh karena itulah, ketika petani sibuk menanam atau memanen hasil utamanya, waktu yang tersedia untuk urusan sekunder lainnya menjadi sangat terbatas. Dampaknya secara umum adalah bahwa pekerjaan pengumpulan rumput pakan sapi yang menyita banyak waktu, akan dikurangi atau bahkan tidak dilakukan sama sekali sampai masa-masa sibuk berakhir. Bobot tubuh sapi yang susut pada waktu-waktu ini kelak dapat dipulihkan, sehingga tidak ada potongan yang hilang dalam gambaran besar pertanian. Kenyataan bahwa sebagian besar sapi di desa dijual per ekor dan bukannya per kilogram, membantu menetralkan dampak fluktuasi bobot tubuh sapi. Untuk alasan yang sama, biaya pemeliharaan sapi seperti mengatasi penyakit cacing, pengendalian kutu/caplak atau produk kesehatan hewan lainnya, secara umum tidak ada. Sapi dan kerbau dapat dijual dengan harga yang sama untuk variasi bobot sekitar 50–100 kg. Jadi, kenapa harus mengeluarkan biaya jika sapinya hanya akan memiliki selisih beberapa kilogram bobot tubuh, sementara hal itu tidak akan berpengaruh besar terhadap harga jualnya ?
Sapi-sapi Indonesia sudah terseleksi secara genetis menjadi sangat subur sehingga sapi betina dapat bunting dengan skor kondisi tubuh hanya 1,5 (sangat kurus) dan pedet besar yang dihasilkannya akan menyedot habis susu dari induknya. Jadi, kenapa harus disapih?
Sapi inbred (hasil perkawinan sedarah) memiliki nilai yang hampir sama dengan sapi bibit unggul lainnya dalam konteks peternakan di desa. Kenapa harus mengeluarkan uang untuk meningkatkan kualitas genetik dua ekor sapi? Para peternak biasanya dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan berinvestasi pada beberapa ekor ayam di belakang rumahnya, daripada menggunakan uang itu untuk biaya pemeliharaan sapi.
Mengapa petani hanya memiliki 1 atau 2 ekor sapi?
Alasannya, jumlah ini paling optimal untuk dapat diberi makan secara efektif di sela-sela kegiatan rutin harian petani. Cobalah berkeliling di daerah pedesaan di mana saja di Indonesia setelah pukul 4 sore. Anda akan melihat banyak sepeda motor yang membawa buntalan besar rumput potong. Lihat foto di bawah. Silakan bertanya kepada peternak mana pun. Jawabannya, mereka membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk memotong dan membawa rumput sebanyak itu dan jumlahnya memadai untuk memberi makan dua ekor sapi selama sehari. Artinya, 4 ekor sapi membutuhkan waktu kerja 4 jam! Kecuali jika si petani memiliki banyak putra dengan banyak waktu senggang, maka dua jam adalah batas waktu terbanyak yang dapat diluangkan setiap hari untuk mengurusi ternak sapi mereka. Sapi biasanya ditambatkan di luar rumah untuk merumput di siang hari. Tetapi karena sapi-sapi itu harus berjalan ke dan dari lokasi penggembalaan, ketersediaan nutrisi mereka sangat minim sehingga sapi sangat tergantung pada pakan yang dibawa oleh petani di malam hari. Jika seorang petani hanya mampu memberi makan dua ekor sapi secara teratur, maka ia hanya akan memelihara dua ekor saja, terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah sebenarnya menghendaki agar petani memelihara tiga ekor atau lebih.
Kebijakan pemerintah dan sapi di desa.
Jika Anda setuju dengan analisis saya di atas, maka akan mudah untuk memahami mengapa sinyal-sinyal kebijakan pemerintah yang diterapkan hingga saat ini belum dapat memberi dampak yang diinginkan terhadap pengambilan keputusan para petani di desa. Bayangkan bila jumlah ‘tabungan’ di belakang rumah mendadak berlipat ganda karena kenaikan harga sapi. Tentu banyak peternak akan memutuskan memanfaatkan ‘durian runtuh’ ini dengan menjual sapi mereka. Mereka sudah lama menyimpan ‘’uangnya’’ dengan harapan bahwa suatu hari nanti mereka mampu membeli sesuatu, entah barang atau layanan yang istimewa. Maka lonjakan mendadak harga sapi potong adalah peluang emas bagi mereka untuk mengambil tunai dari “rekening banknya” untuk membeli mobil baru atau mungkin menunaikan ibadah haji. Mereka masih akan menyimpan satu ekor sapi. Dan satu-satunya sapi yang tersisa ini menjadi semakin bernilai, sebab ia sekarang menjadi jaminan kesehatan atau keuangan keluarga.
Peternak sapi perah khususnya mungkin tergoda, meskipun sapi mereka cenderung tidak subur, terinfeksi mastitis (radang ambing), sudah tua, dan berkinerja rendah. Namun hal ini masih dapat ditoleransi, sebab jauh lebih baik memiliki sapi meskipun produksi susunya rendah daripada dijual untuk disembelih. Pilihan yang lebih masuk akal adalah menjual sapinya sebagai sapi pedaging ketika suatu saat harga daging sapi mendadak naik. Dalam konteks industri sapi perah Indonesia secara keseluruhan, situasinya mungkin tidak seburuk yang terlihat, sebab sejumlah besar sapi yang tidak produktif disingkirkan dan produksi nasional tidak terpengaruh seperti jika semua sapi perah hanya berproduksi pada tingkat menengah/sedang. Tentu saja, bagi mayoritas peternak “menengah” dengan dua ekor sapi dan tidak ada waktu luang untuk memotong lebih banyak rumput, menambah jumlah sapi dari 2 menjadi 3 atau 4 ekor sama sekali bukan pilihan.
Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia membuka pasar daging dalam negeri untuk mengimpor daging kerbau India beku berbiaya rendah dan pada saat yang sama memaksa feedlot-feedlot sapi impor untuk memperbaiki harga jual ternak sapi yang gemuk degan harga relatif rendah. Hal ini berdampak terhadap penurunan harga sapi lokal ketika dipotong dan akibatnya menurunkan nilai semua sapi Indonesia. Peternak kecil sekali lagi dipaksa untuk mempertimbangkan keputusan atas dua ekor sapi yang dipelihara di belakang rumah. Harga yang lebih rendah memberikan sedikit dorongan kepada para peternak untuk memelihara lebih banyak sapi, entah itu melalui Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting melalui inseminasi buatan) atau melalui kawin alami. Dengan menurunnya permintaan atas sapi potong sekitar 50% sewaktu daging kerbau belum tersedia di pasar, banyak peternak mungkin memilih untuk menjual sapinya sebelum harga sapi turun lebih rendah lagi. Setiap orang memahami niat tulus dan memaklumi upaya pemerintah untuk menurunkan harga daging sapi bagi jutaan populasi penduduk Indonesia. Tetapi hal ini tidak dapat dicapai tanpa dampak negatif yang kuat terhadap usaha skala kecil peternak lokal.
Apa yang dapat dilakukan pemerintah agar efektif untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri?
1. Meningkatkan kinerja dari kawanan ternak yang ada
Semua orang sudah tahu hal ini, tetapi mengapa belum juga terwujud?
Selama peternak puas dengan “produksinya” maka ia akan ragu untuk mengeluarkan uang dan usaha untuk memperbaiki tingkat produksi. Sebab, ia yakin akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik dan lebih cepat bila uangnya dipakai untuk pilihan lain yang lebih menguntungkan dalam usaha pertaniannya.
Karena seluruh warga bagsa menjadi penerima manfaat utama dari peningkatan kinerja peternak sapi melalui peningkatan ketahanan pangan, berarti sumber daya yang harus dituangkan pun lebih banyak daripada yang dilakukan sekarang, demi mendorong partisipasi peternak. Pengendalian parasit, inseminasi buatan, penyuluhan tentang usaha peternakan, pengetahuan gizi pakan dan perawatan kesehatan hewan perlu ditawarkan kepada para peternak dengan subsidi yang besar, atau bahkan sama sekali gratis. Saat ini, anggaran di Kementerian Pertanian tidak memungkinkan adanya dukungan seperti ini. Akibatnya para peternak memilih cara pengelolaannya sendiri yang sederhana dan murah. Alokasi anggaran yang tidak memadai membuat Kementerian Pertanian memberikan fokus untuk menghimpun keuntungan dari peternak, bukannya berfokus pada penyediaan pelayanan penyuluhan gratis yang dapat membantu peternak sapi bibit untuk meningkatkan produksi mereka. Peternak tidak boleh diharapkan untuk mendanai kebijakan pemerintah dengan sumber daya pribadi mereka. Pemerintahlah yang harus membayar.
Kementerian Pertanian baru-baru ini memperkenalkan Upsus SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting) untuk mendorong pemanfaatan inseminasi buatan dengan harapan akan mendorong percepatan pertumbuhan populasi sapi potong maupun sapi perah. Setahun setelah program ini diperkenalkan pada Oktober 2016, pemerintah sendiri akhirnya menyatakan bahwa hasilnya mengecewakan. Kinerja yang buruk ini diakibatkan oleh berbagai persoalan mulai dari kekurangan anggaran dalam pengaturan pelaksanaannya sampai kurangnya minat dan pemahaman peternak.
2. Mendorong lebih banyak produksi dari pulau-pulau di Indonesia bagian Timur
Kawasan Timur Indonesia sangat mirip dengan kawasan di Top End Northern Territory Australia. Tanahnya secara umum sangat tidak subur dengan curah hujan yang sangat rendah serta tidak dapat diprediksi. Akibatnya, kawasan ini tetap tertinggal karena sumber daya yang ada tidak menarik dan produktivitas marginal serta peluang keuntungan amat rendah. Kombinasi antara jarak yang jauh ke pasar, perselisihan yang berlanjut atas kepemilikan tanah, tingkat produktivitas yang sangat rendah, infrastruktur transportasi tertinggal bagaikan di abad ke-19, dan praktik-praktik pasar yang mencekik seperti pembayaran sapi setelah beranak untuk dikirim ke Jawa, maka alasan utama sapi diproduksi di sini adalah karena sebagian besar kawasan ini tidak dapat dimanfaatkan secara komersial untuk menghasilkan sesuatu yang lain. Pemerintah dapat membantu dengan resolusi mengenai persoalan kepemilikan tanah, perbaikan pelabuhan dan pengapalan, serta memastikan penegakan sistem perdagangan yang adil.
Kondisi tanah dan iklim di kawasan Indonesia timur jelas menunjukkan rendahnya stocking rates (perbandingan antara ternak dan persediaan hijauan pakan), sehingga meskipun usaha peternakan sapi menjadi sangat menguntungkan, jumlah yang diproduksi dari kawasan ini tidak akan berpengaruh secara substansial terhadap ketahanan pangan nasional. Pengentasan kemiskinan dan pembangunan sosial? Ya.
Penyumbang yang signifikan bagi kecukupan daging sapi nasional? Tidak.
3. Menciptakan lingkungan kebijakan yang mendorong perusahaan peternakan untuk berinvestasi dalam usaha daging sapi
Bisnis peternakan sapi yang menguntungkan hanya dapat terwujud dengan tersedianya pakan murah dalam jumlah besar. Pakan paling murah di dunia untuk sapi adalah rumput. Jadi, daerah mana pun yang memiliki lahan rumput yang murah, akan efisien untuk pengembangbiakkan sapi dalam jumlah besar. Indonesia memiliki relung lingkungan seperti ini dalam industri perkebunan kelapa sawit yang besar.
Alasan utama mengapa industri perkebunan tidak berinvestasi dalam peternakan sapi hingga saat ini hanyalah karena keuntungan investasi mereka dari penamanan modal dalam bentuk lainnya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan usaha produksi daging sapi. Hal ini akan berubah sebab dunia semakin cepat kekurangan daging sapi dan harga daging sapi dunia akan segera berada pada level yang menarik bagi para investor yang mengejar keuntungan. Khususnya investor yang sudah mempunyai lahan, sebab lahan biasanya menghabiskan sekitar 50% biaya modal awal usaha, seperti usaha peternakan sapi.
Persoalan berikutnya adalah berbagai kebijakan pemerintah (ini sangat penting dalam memulai proyek apa pun dalam skala besar) yang membuat impor sapi bibit menjadi jauh lebih mahal, sulit, dan misterius daripada semestinya. Mulai dari berbagai peraturan yang dikeluarkan tanpa peringatan, hingga persyaratan perizinan yang berlapi-lapis, sampai dengan protokol kesehatan yang sangat mahal, lini depan pemerintah jelas-jelas mengecilkan semangat para investor bahkan sebelum mereka memulai usahanya. Ada banyak sekali kebijakan yang dapat dimodifikasi untuk memperbaiki lingkungan bagi investor tanpa berdampak pada biosekuriti, penerimaan pajak atau peraturan pemerintah lainnya. Sedangkan terhadap para peternak di desa, pemerintah perlu berhenti menganggap peternakan skala kecil sebagai sumber penghasilan yang menguntungkan dan berfokus untuk memfasilitasi usaha ini demi membantu mempromosikan tujuan nasional yaitu peningkatan produksi daging sapi secara substansial.
‘’Industri daging sapi’’ Indonesia ibarat makhluk yang sangat kompleks dengan berbagai ciri-ciri unik yang menyebabkannya memberikan reaksi berbeda terhadap kebijakan pertanian yang konvensional. Meskipun potensi untuk peningkatan produksi dari 6 juta peternak skala kecil tampaknya dipandang sebagai lahan investasi sumber daya pemerintah, mungkin dampak nyata terhadap suplai daging sapi nasional akan jauh lebih efektif jika dibuat kebijakan yang berfokus pada sektor korporasi. Perusahaan-perusahaan komersial yang besar dan memiliki dana yang kuat, berpotensi untuk meraih keuntungan besar dalam jangka waktu singkat, jika pemerintah mengendurkan cengkeramannya terhadap industri ini dan membiarkan mereka mengembangkan bisnis sesuai keinginan mereka. Perusahaan-perusahaan yang serius tidak butuh sedekah atau berbagai pembatasan yang mahal. Mereka hanya perlu lingkungan yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan bisnisnya.